Banyuwangi - Dam Karangdoro, yang dibangun sejak 1921 memiliki nilai historis. Tidak hanya menjadi sumber kehidupan bagi ribuan petani di Banyuwangi, bendungan ini bukan hanya infrastruktur vital, tetapi juga simbol ketahanan masyarakat lokal.
“Sejarah Dam Karangdoro adalah cermin dari semangat gotong royong masyarakat,” ujar Kusdi, Ketua Hippa DI Baru.
Nama “Karangdoro” sendiri memiliki makna historis yang dalam, menggabungkan kata “Karang” dan “Doro”. Hal ini menunjukkan bahwa bendungan ini dirancang pada masa pemerintahan Belanda.
“Karang yang berarti karangan atau rancangan dan Doro yang berarti kaum Belanda yang berkuasa saat itu, sehingga nama Karangdoro berarti bendungan yang direncanakan oleh Belanda,” tambah Kusdi.
Setelah dibangun, Dam Karangdoro menjadi tulang punggung bagi sektor pertanian di Banyuwangi. Dengan air yang berasal dari lereng Gunung Raung dan Gumitir, bendungan ini memberi kehidupan pada ribuan hektar sawah. “Keberadaan dam ini sangat penting bagi ketahanan pangan daerah,” jelasnya.
Ritual “Bubak Bumi” yang dimulai pada tahun 1963, menunjukkan bentuk rasa syukur masyarakat terutama petani. Ritual ini sebagai bentuk harapan dan syukur agar masa tanam selanjutnya dapat aman. “Semoga tidak ada gagal panen atau hal lain yang tidak diinginkan,” tutur Kusdi.
Sementara Sekretaris Dinas PU Pengairan Banyuwangi Riza Al Fahroby menambahkan, Korsda Pesanggaran, Bangorejo, dan Cluring, masing-masing mengelola luas area yang signifikan dari total 16.165 Ha sawah yang dialiri dari Dam Karangdoro.
Pesanggaran bertanggung jawab atas 4.381 hektar, sementara Bangorejo dan Cluring mengelola 5.981 dan 5.803 hektar, berturut-turut. “Daerah tangkapan air Dam Karangdoro berasal dari lereng Gumitir dan Gunung Raung,” kata Riza.
Dam Karangdoro menjadi simbol keberlangsungan dan harapan bagi masyarakat Banyuwangi. Sejarah dan budaya yang ada harus dijaga agar generasi mendatang tetap mengenal warisan ini. “Kita harus melestarikan sejarah untuk masa depan yang lebih baik,” terang Riza.